Ekonomi | 4/09/2025 - 19:51

Menguji Surplus Klaim Menteri Pertanian Melalui Data dan Fakta Lapangan

Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

Narasi “swasembada”, “stok melimpah”, dan “serapan gabah naik 2.000%” kerap menggema dari podium Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. Namun, di balik retorika optimis tersebut, harga beras di pasar tetap tinggi, petani merana, dan gudang Bulog dipenuhi beras rusak. Indonesian Audit Watch (IAW) coba membongkar kesenjangan antara klaim dan realita dengan pisau analisis berbasis data.

Retorika vs realita

Sejak pertama kali dilantik pada 2014 dan kembali pada 2023, Amran Sulaiman konsisten dengan gaya komunikasi yang penuh klaim besar. Namun, laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan kondisi di lapangan justru menunjukkan cerita yang berbeda:

1. Klaim: stok beras surplus dan melimpah. Fakta: harga beras konsisten tinggi, impor terus berjalan, dan BPK berulang kali menemukan stok beras lama yang rusak di gudang Bulog, menyebabkan kerugian negara yang membengkak hingga triliunan rupiah.
2. Klaim: serapan gabah petani naik 2.000% dalam tiga bulan. Fakta: klaim ini dipertanyakan karena tidak disertai transparansi data pembelian, seperti kontrak, invoice, dan bukti pembayaran kepada petani dengan harga yang sesuai HPP.
3. Klaim: alih fungsi lahan tidak separah yang dikhawatirkan yaitu 100 ribu hektare, dan sawah justru bertambah 200 ribu hektare. Fakta: data BPS menunjukkan angka alih fungsi lahan yang lebih rendah (30-40 ribu hektare). Yang penting diperdebatkan bukan hanya angkanya, tetapi kualitas dan produktivitas lahan yang hilang dan yang ditambahkan.

Metodologi IAW: lima lapis pengujian klaim

IAW merancang kerangka analisis untuk menguji setiap klaim pejabat publik secara rasional:

1. Stok vs harga: jika stok benar-benar melimpah, mengapa harga tidak kunjung turun?
2. Angka serapan: klaim peningkatan fantastis harus dibuktikan dengan data waktu, lokasi, volume, dan mutu yang transparan.
3. Data kahan: membandingkan data satelit dengan data survei sampel BPS, dengan fokus pada dampak produktivitas.
4. Distribusi: klaim “pergeseran distribusi” untuk kelangkaan beras premium harus dibuktikan dengan dokumen pengiriman (DO) dan peningkatan stok di pasar tradisional.
5. Subsidi dan penegakan hukum: memastikan beras bersubsidi dan fortifikasi tepat sasaran, bukan justru dialihkan ke jalur premium yang berpotensi koruptif.

Pola dua periode bergaya sama, masalah klasik berulang

Analisis temporal menunjukkan pola yang konsisten:

Periode 2014-2019: janji swasembada pangan tidak pernah benar-benar terwujud. Indonesia tetap mengimpor beras, dan temuan BPK mengungkap kelemahan tata kelola.

Periode 2023-sekarang: klaim kembali lebih sensasional. Namun, realitanya adalah kenaikan harga beras, mati surinya penggilingan padi kecil (UMKM), dan ketergantungan pada impor. Rekomendasi audit BPK dari tahun-tahun sebelumnya tidak dijadikan pelajaran.

Rekomendasi: dari retorika harus ke akuntabilitas

IAW tidak hanya mengkritik, tetapi juga berupaya memberikan solusi konkret untuk membawa tata kelola pangan dari wilayah “mulut” ke “metode”:

1. Jadikan LHP BPK sebagai panduan. Setiap temuan audit harus dituntaskan dengan bukti yang dapat diakses publik.
2. Lakukan audit tematik nasional untuk memverifikasi stok harian, program SPHP, dan lahan sawah yang diklaim.
3. Buat dashboard publik real-time yang memadukan data Kementan, Bulog, dan Bapanas untuk memantau stok, harga, dan distribusi.
4. Lindungi penggilingan padi kecil dengan memastikan akses mereka terhadap bahan baku dan program pemerintah.
5. Penegakan hukum yang presisi, tidak menyasar pelaku UMKM kecil.
6. Wajibkan “data pack” untuk setiap klaim menteri. Setiap pernyataan tentang surplus harus disertai dataset yang dapat diunduh dan diverifikasi publik.

Kesimpulan

Surplus sejati bukanlah soal kata-kata di podium, melainkan tentang:

1. Harga beras yang terjangkau di pasar.
2. Gudang yang dikelola dengan sehat tanpa barang rusak.
3. Penggilingan padi kecil yang bisa bernapas lega.
4. Rekomendasi BPK yang ditindaklanjuti dengan serius.

Tanpa bukti yang nyata dan dapat diverifikasi, klaim “surplus” hanyalah surplus kata-kata yang tidak mengisi piring rakyat.

Loading next page... Press any key or tap to cancel.