Berita | 17/09/2025 - 08:50

Dugaan Kasus Korupsi Jalan di Sumut, IAW Desak KPK Jemput Paksa Rektor USU

Harianbisnis.com, Jakarta- Universitas Sumatera Utara (USU) menjadi sorotan, bukan karena prestasi. Musababnya karena sang rektor Prof. Muryanto Amin yang dikabarkan mangkir dua kali dari panggilan pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupis (KPK).

Salah satu sosok sentral dalam pusaran kontroversi ini adalah Prof. Muryanto Amin, Rektor USU sejak 2021, yang tercatat dua kali mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek jalan di Sumatera Utara.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Indonesian Audit Watch (IAW), KPK secara resmi memanggil Prof. Muryanto Amin sebagai saksi pada tanggal 22 dan 29 Agustus 2025 dalam perkara dugaan korupsi proyek jalan provinsi Sumatera Utara senilai Rp231,8 miliar.

Pihak KPK menyatakan bahwa Muryanto tidak hadir tanpa alasan sah, dan hingga kini belum dikeluarkan surat pemanggilan paksa, meskipun secara hukum KPK memiliki kewenangan itu sesuai Pasal 40 UU No. 19 tahun 2019 tentang KPK.

Terkait hal itu, Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) angkat bicara.

Ia menilai ketika seorang rektor bisa dua kali mangkir dari KPK tanpa sanksi, ini bukan sekadar celah hukum, ini krisis teladan.

Berikut adalah dugaan kasus korupsi dan penyimpangan keuangan yang menyeret nama Prof. Muryanto Amin:

1. Aliran dana proyek APBD Sumut, terdapat dugaan keterlibatan dalam aliran dana dari tersangka Topan Ginting.

2. Agunan kredit kebun USU, dengan nilai agunan fiktif Rp228 miliar di Bank BNI dilaporkan ke Kejati Sumut.

3. Penyelewengan rumah dinas, karena Muryanto tercatat menggunakan tiga rumah dinas secara bersamaan (Rektor, Guru Besar, dan Dekan), itu melanggar Permenkeu No. 199/PMK.05/2019.

4. Proyek kolam retensi dan plaza UMKM, temuan audit BPK mencatat kejanggalan pada proyek senilai Rp20 miliar (kolam) dan Rp116–122 miliar (plaza).

5. Kelebihan pemungutan UKT Jalur Mandiri, dimana temuan BPK menyebut total kelebihan mencapai Rp10,9 miliar.

6. Remunerasi tak wajar, audit BPK mencatat pembayaran Rp36,5 miliar dalam remunerasi di luar ketentuan.

Iskandar melanjutkan, Muryanto Amin bukan hanya dikenal sebagai akademisi, tetapi juga sebagai konsultan politik Bobby Nasution, Gubernur Sumut, dalam Pilkada Medan 2020 dan Pilgub Sumut 2024.

“Dugaan politisasi kampus muncul karena disebut-sebut dengan penempatan loyalis di Senat Akademik yakni Budi Agustono dan Majelis Wali Amanat, Agus Andrianto. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa jabatan rektor bukan lagi hasil meritokrasi, melainkan hasil manuver kekuasaan,” ucapnya.

Iskandar mengatakan menanggapi kasus yang membelit Muryanto, Forum Penyelamat USU (FP-USU), yang terdiri dari alumni, dosen, dan mahasiswa, mengeluarkan Somasi Terbuka No. 002/FP-USU/IX/2025 berisi 6 tuntutan utama:

1. Klarifikasi keterlibatan Rektor dalam lingkaran Topan Ginting.
2. Audit forensik proyek hibah dan renovasi kampus.
3. Penertiban penggunaan rumah dinas dan tunjangan.
4. Transparansi pengelolaan kebun dan BUMD kampus.
5. Pemutusan semua relasi politik praktis di dalam kampus.
6. Penghentian intimidasi terhadap sivitas akademika yang kritis.

Iskandar mengatakan publik mengecam tindakan KPK yang dinilai minim respon. Dimana KPK harusnya melakukan pemanggilan ketiga atau pemanggilan paksa ke hadapan hukum karena yang bersangkutan sudah 2 kali mangkir.

“KPK harus menunjukkan dengan ketat bahwa semua warga negara setara di mata hukum, walau dia seorang rektor, sebab terafiliasi dalam kasus yang disidiknya,” katanya.

Iskandar pun menjabarkan rekomendasi IAW terhadap kasus ini yakni:

1. KPK harus menerbitkan panggilan paksa terhadap Rektor USU yang mangkir dua kali!

2. Audit forensik penuh atas proyek-proyek kampus selama 2020–2024 yang bernilai di atas Rp5 miliar.

3. Evaluasi integritas jabatan rektor oleh Kemendikbudristek melalui Tim Independen.

4. Publikasi terbuka seluruh LHP BPK dan LHP SPI USU selama 10 tahun terakhir.

Iskandar mengatakan USU bukan hanya institusi pendidikan, tapi juga simbol kepercayaan publik terhadap dunia akademik.

Ia mengatakan ketika seorang rektor mampu mangkir dua kali dari panggilan lembaga antikorupsi tanpa tindakan tegas, maka sinyal yang dikirimkan ke generasi muda adalah, seakan kekuasaan bisa membeli kebal hukum

“USU butuh pemimpin akademik, bukan pemilik jaringan politik. Jika ini dibiarkan, seluruh sistem akan rusak, yakni dari nilai moral hingga fondasi kampus itu sendiri,” tegasnya. (Tim/rel/hbc)

Loading next page... Press any key or tap to cancel.