PT Pupuk Indonesia Kolaborasi dengan Mitsubishi dan Toyo untuk Pengembangan Ammonia
Harianbisnis.com, Jakarta- PT Pupuk Indonesia menargetkan pengurangan emisi karbon pada 2030 sebesar 4,8 juta ton CO2.
Pada 2060, target tersebut menjadi 20 juta ton CO2. Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Bakir Pasaman mengatakan, untuk mencapai target tersebut salah satu peta jalan yang dilakukan oleh Pupuk Indonesia adalah mengembangkan ammonia bersih. Ammonia adalah senyawa kimia yang dapat menjadi sumber energi bersih masa depan sekaligus sebagai media untuk mengangkut hidrogen atau hydrogen carrier.
“Kami melakukan kolaborasi dengan sejumlah pihak dalam pengembangan ammonia biru dan hijau. Salah satunya dengan Mitsubishi dan TOYO dari Jepang. Kami membangun pabrik ammonia di Lhokseumawe, Nangroe Aceh Darussalam. Target berikutnya adalah membangun pabrik di Bontang,” kata Bakir dalam sesi diskusi di acara Pupuk Indonesia Clean Ammonia Forum 2023, beberapa waktu lalu.
Executive Officer/Division Director of Solution Business Toyo Engineering Corp, Eiji Sakata mengatakan, pihaknya siap membantu Pupuk Indonesia dan pemerintah Indonesia untuk mencapai emisi nol bersih.
Hal itu tercermin melalui kerjasama PT Pupuk Indonesia (Persero) bersama Toyo Engineering Corp, dimana sepakat untuk melakukan kajian bersama pembangunan pabrik Green Ammonia di Indonesia. Kesepakatan tersebut tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) tentang Joint Development Pupuk Iskandar Muda (PIM) 2 Hybrid Green Ammonia.
“Indonesia memiliki titik kuat untuk masuk ke bisnis pemasok amonia. Jadi sekarang saatnya transfer menjadi perusahaan energi berkelanjutan untuk seluruh perusahaan grup Indonesia,” kata dia.
Wakil Direktur Utama Pupuk Indonesia Nugroho Christijanto mengatakan, sejumlah rekan kerja Pupuk Indonesia dari Jepang seperti Toyo Engineering Corporation hingga Mitsui & Co Ltd, telah memiliki teknologi memadai untuk pengembangan ammonia.
“Jadi kita tahu bahwa ke depan pengembangan amonia biru dan hijau saya kira juga membutuhkan lebih banyak investasi dibandingkan dengan amonia abu-abu yang ada,” kata dia.
Nugroho menjelaskan, kolaborasi bersama pelaku industri dengan cara saling bertukar produk juga dapat mengatasi kebutuhan bersama. Seperti di Indonesia misalnya, amonia dapat digunakan sebagai bahan bakar batubara atau untuk boiler batubara di PLN. Ia mengatakan, amonia akan menjadi salah satu sumber energi di masa depan dan tidak akan hanya dikonsumsi industri, tapi lintas sektor.
“Jadi kita perlu kolaborasi tentunya, tidak hanya antarindustri. Kami membutuhkan kerja sama juga dengan pemerintah sendiri karena tidak dapat dilakukan jika tidak ada kerangka peraturan yang mendukung kegiatan tersebut,” ujar dia.
Direktur Pemasaran Pupuk Indonesia, Gusrizal mengatakan, Pupuk Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam bisnis amonia, yakni sejak 1950. Pupuk Indonesia membangun pabrik amonia pertama di Palembang, Sumatera Selatan.
“Saya harus mengatakan, kami (Pupuk Indonesia) adalah pemain yang kuat dalam pasar amonia,” ujar Gusrizal.
Kata Gusrizal, saat ini Pupuk Indonesia memproduksi sekitar 7 juta ton amonia per tahun. Sebagian besar bahan bakunya adalah urea dan nitrogen, phosphat, kalium (NPK). Pupuk Indonesia masih punya sekitar 1 juta ton per tahun yang dijual langsung ke pengguna atau pembeli akhir.
Selain itu, Pupuk Indonesia ingin menjadikan Indonesia sebagai hub dari pasar amonia dunia. Namun, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama adalah membangun sumber daya manusia (SDM). Untuk mencapai target yang optimal, tentu perusahaan perlu memiliki SDM yang andal.
“Penguatan SDM perlu selaras dengan pengembangan infrastruktur,” kata dia.
Kedua, lanjut Gusrizal, dukungan pemerintah. Dukungan pemerintah yang dimaksud adalah insentif. Pasalnya, pengembangan amonia bersih merupakan bentuk dukungan Pupuk Indonesia terhadap program transisi energi dari pemerintah untuk menuju Net Zero Emission di 2060.
“Kita sudah berbicara tentang insentif subsidi karena ini adalah produk baru jadi kami membutuhkan dukungan dari pemerintah. Tapi ini adalah kunci dari kesuksesan ini,” jelasnya.
Strategy Officer Jera Co. Inc, Sidhartha Basu mengatakan, amonia bermanfaat sebagai pembawa hidrogen. salah satu manfaat amonia adalah infrastruktur yang ada.
Lebih dari itu, ammonia memiliki infrastruktur, keakraban, rencana kerja, kebijakan untuk penanganan dan penggunaan yang aman.
Tetapi ketika ammonia dihubungkan dengan pembangkit listrik, kata Sidhartha, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Infrastruktur pengembangan amonia saat ini tidak memadai untuk mengelola volume pembangkit listrik yang diharapkan.
“Jadi kami sedang mencari perusahaan yang aktif dari sisi hulu ke transportasi, penyimpanan dan juga pada sisi generasi untuk berperan aktif dalam membantu menentukan amonia dan meningkatkannya,” kata Sidhartha.
Subkoordinator Penyiapan Program Pemanfaatan Migas Kementerian ESDM Syarifudin Setiawan mengungkapkan, pemerintah mendukung penuh kegiatan pengembangan energi terbarukan seperti ammonia hijau dan biru guna mencapai nol emisi.
“Kalau boleh saya katakan, pemerintah kita berkomitmen penuh untuk mendukung program ini, untuk mencapai nol emisi. Jadi dari manajemen puncak pemerintah, kami juga sudah memiliki beberapa arahan untuk mendukung kegiatan ini kepada semua pemangku kepentingan,” kata Syarifudin.
Kata Syarifudin, dukungan yang diberikan oleh pemerintah adalah dalam hal regulasi, terkait amonia dan energi terbarukan.
“Dalam hal regulasi, mengenai potensi program nol emisi melalui amonia, dan energi terbarukan yang sangat melimpah di Indonesia,” ujar Syarifudin.
Tak hanya energi terbarukan, ditegaskan oleh Jamsaton, pengembangan amonia hijau sebagai sumber energi terbarukan juga perlu dukungan regulasi dari pemerintah, dan yang paling penting adalah biaya yang ekonomis.
“Saat ini, peraturan yang ada hanya mengatur hulu untuk CCUS dan CCS. Namun, kami membutuhkan dukungan seputar regulasi streaming untuk CCUS dan CCS. Selain itu, saat ini biaya yang dikeluarkan sangat tinggi untuk energi terbarukan. Jadi untuk mengembangkan amonia hijau, kami membutuhkan biaya yang ekonomis untuk energi terbarukan. Jadi kita perlu regulasi juga, bagaimana mengatur energi terbarukan. Jadi untuk memperbaiki keterampilan ekonomi kita untuk mengembangkan amonia hijau,” tutur Jamsaton. (Ram/hbc)